Oleh: Fadel Monoarfa
Duapena.id, Opini – Pertambangan ilegal atau Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, telah lama menjadi paradoks antara harapan dan kehancuran. Di satu sisi, ia menjadi tumpuan ekonomi bagi masyarakat kecil yang kesulitan mencari pekerjaan. Di sisi lain, aktivitas ini menyisakan jejak kerusakan lingkungan, konflik sosial, hingga kehilangan nyawa.
Bagi sebagian warga, tambang ilegal adalah “jalan keluar” dari kemiskinan. Tidak ada banyak pilihan ketika lapangan kerja terbatas dan harga kebutuhan pokok terus naik. Maka, banyak yang nekat menambang meski dengan alat seadanya dan tanpa perlindungan keselamatan yang memadai.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa harapan itu sering kali dibayar mahal. Longsor di lubang tambang, keracunan air merkuri, dan konflik lahan bukan lagi hal yang langka. Bahkan, beberapa nyawa melayang tanpa kejelasan hukum atau jaminan dari siapa pun. Ini bukan hanya persoalan ekonomi rakyat kecil — ini adalah kegagalan sistemik.
Pemerintah daerah memang sudah beberapa kali melakukan penertiban. Namun, selama solusi jangka panjang belum ditawarkan — seperti legalisasi tambang rakyat, pelatihan kerja, atau pembukaan lapangan usaha alternatif — maka aktivitas ilegal akan terus berulang.
Pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat harus duduk bersama. Bukan hanya untuk menindak, tetapi juga untuk membina. Jika tambang rakyat bisa difasilitasi dan diawasi secara legal, maka bukan hanya ekonomi warga yang terbantu tetapi juga keselamatan, lingkungan, dan masa depan daerah bisa lebih terjaga.
Pertambangan ilegal di Pohuwato adalah luka terbuka. Menutupnya bukan hanya soal hukum, tapi juga soal keberpihakan: apakah kita berpihak pada keselamatan rakyat atau membiarkan mereka menggali risiko demi sesuap harapan?