Tajuk
Oleh : Jhojo Rumampuk
Duapena.id, Gorontalo, – Nama Mustafa Yasin, anggota DPRD Provinsi Gorontalo sekaligus politisi PKS, kini menjadi sorotan panas dan bahan gunjingan dari warung kopi sampai meja rapat dewan. Bukan hanya karena perjalanannya ke Arab Saudi sejak 15 Mei 2025 yang penuh tanda tanya, tetapi juga karena dugaan pelanggaran aturan yang sudah jelas tercetak di hitam putih perundang-undangan.
Dilihat dari Permendagri 59 tahun 2019 Pasal 3 dan 4 sebenarnya sederhana saja, mau dinas atau urusan pribadi, anggota DPRD yang bepergian ke luar negeri wajib memiliki izin dari Menteri Dalam Negeri melalui Pimpinan DPRD dan Gubernur.
Tapi dari penelusuran dokumen dan informasi yang beredar, izin Mustafa Yasin bisa disebut sudah kedaluwarsa sejak 5 Juli 2025. Sesuai Pasal 28, izin perjalanan ke luar negeri hanya berlaku maksimal 50 hari kalender sejak keberangkatan, dalam kasus ini sejak 15 Mei. Lewat dari itu, semua keberadaannya di luar negeri tanpa dasar hukum
Bukan cuma soal izin. Pasal 27 PP yang sama juga jelas mengatur, jika anggota DPRD berangkat haji, harus ada surat keterangan dari Kementerian Agama yang membuktikan bahwa ia terdaftar sebagai jamaah resmi. Tapi fakta berbicara lain: Mustafa Yasin menggunakan visa amil atau tenaga kerja, bukan visa haji. Jadi, ini anggota DPRD atau TKI? Statusnya jadi kabur, dan publik makin yakin perjalanan ini tidak sesuai prosedur.
Dari sisi kehadiran di DPRD, catatan absensinya bikin geleng-geleng kepala. Sejak 7 Juli hingga akhir Juli, Mustafa bolos 10 kali rapat paripurna (paripurna ke-27 sampai ke-36) dan lebih dari 10 kali rapat alat kelengkapan dewan, semuanya tanpa alasan yang sah.
Padahal PP Nomor 12 Tahun 2018 Pasal 99 ayat 3 huruf d cukup tegas, enam kali bolos rapat berturut-turut saja tanpa alasan sah, anggota DPRD bisa diberhentikan antar waktu (PAW). Mustafa? Sudah dua kali lipat dari ambang batas. Bahkan, kalau dihitung sejak 15 Mei, ia sudah 15 kali tidak hadir di paripurna.
Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD, Fikram Salilama, mengakui absensi Mustafa sudah merupakan pelanggaran berat. Ia mengatakan, sejak Januari 2025 Mustafa sudah mencatatkan lima kali absen paripurna berturut-turut, dan surat cuti yang diajukan pun hanya berlaku dari 15 Mei sampai 15 Juni. “Lewat dari itu tidak ada pemberitahuan,” kata Fikram.
Ketua DPRD, Thomas Mopili, bahkan lebih blak-blakan: Mustafa tidak pernah mengajukan izin keluar negeri ke pimpinan dewan. “Kalau aleg keluar negeri, harus ada rekomendasi pimpinan dewan sebagai syarat urus izin di Kemendagri. Tapi entah kalau dia pergi untuk urusan pribadi,” mengutip pernyataan Thomas
Di kubu partai, pernyataan Ketua DPW PKS, Adnan Entengo, dan Ketua Fraksi PKS, Manaf Hamzah, justru memperkuat dugaan pelanggaran. Adnan mengaku cuti haji Mustafa hanya berlaku sampai 15 Juni. Manaf membenarkan bahwa secara administratif, izin luar negeri Mustafa memang tidak keluar. “Opsi PAW itu pasti ada. Kalau terbukti, silakan diproses,” kata manaf
Manaf juga mengungkap bahwa data absensi Mustafa sudah dipegang BK dan DPW. Bahkan ia terang-terangan menyebut bahwa Mustafa sekitar sepuluhan kali tidak hadir rapat paripurna. Dalam politik internal DPRD, catatan absensi adalah peluru mematikan bagi anggota dewan yang tersandung masalah.
Kini, publik Gorontalo hanya menunggu apakah Badan Kehormatan DPRD akan benar-benar tegak lurus pada aturan, atau justru memilih jalan aman. Diam, pura-pura tidak tahu, atau menutup mata dan telinga demi melindungi kolega sendiri. Sebab kalau hal ini dibiarkan, sejarah akan mencatat bahwa DPRD Gorontalo bukan lagi rumah rakyat, melainkan rumah nyaman bagi pelanggar aturan tempat di mana “haji bodong, izin mati, dan bolos paripurna” bisa lolos dari jerat sanksi.