Duapena.id, Pohuwato – Kondisi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Teratai yang kini mati suri adalah salah satu bukti konkret gagalnya Pemerintah Desa (Pemdes) dalam menjalankan amanat Undang-Undang (UU) Desa Nomor 6 Tahun 2014, yang semestinya berpihak pada kesejahteraan rakyat. Bahkan ironisnya, kegagalan ini tidak hanya terjadi di ruang eksekusi saja, tetapi juga di tatanan pengawasan, yang terkesan pemerintah desa abai, sedangkan BPD yang mandul.
Sejak awal pendiriannya pada tahun 2021, BUMDes Teratai Mart digadang-gadang sebagai langkah strategis untuk menggerakkan ekonomi masyarakat desa. Namun realitasnya, setelah anggaran dikucurkan dengan nominalnya Rp. 500.000.000 juta sekian, hingga berakhir pada usaha yang tidak lagi berjalan, aset terbengkalai, dan laporan pertanggungjawaban pun tidak pernah muncul secara transparan ke publik. Lalu pertanyaannya, ke mana saja Kepala Desa (Kades) dan aparatnya selama ini?
Yang lebih mengecewakan lagi adalah sikap pasif dan diamnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Lembaga yang sejatinya adalah wakil rakyat di tingkat desa, berperan sebagai pengawas jalannya pemerintahan desa. Tapi dalam praktik dilapangan, BPD justru tampak bungkam, tidak memiliki sikap kritis, dan terkesan membiarkan penyimpangan ini terus terjadi. Dan juga fungsi kontrol BPD terlihat lumpuh, bahkan apabila masyarakat sudah terang-terangan menunjukkan ketidakpuasan atas problematika yang terjadi.
Olehnya, kami Rembuk Pemuda Kabupaten Pohuwato dengan ini mendesak dan meminta kepada pihak terkait agar kiranya dapat melakukan evaluasi terhadap persoalan ini. Karna evaluasi merupakan satu-satunya suara jujur yang tersisa dari masyarakat, termasuk generasi muda. Kita mewakili kegelisahan rakyat atas pengelolaan desa yang belum transparan dan masih jauh dari prinsip tata kelola yang baik. Sehingganya, sudah waktunya BPD turun tangan secara serius, bukan hanya menjadi stempel kebijakan kepala desa, melainkan menjadi fungsi kontrol dalam pemerintah desa.
Kita tidak butuh BUMDes yang hanya menjadi simbol pembangunan tanpa arah. Kita juga tidak butuh BPD yang hanya hadir saat musyawarah anggaran tapi diam saat masyarakat dirugikan. Yang kita butuhkan adalah kepemimpinan desa yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Jika kepala desa dan BPD tidak segera berbenah dan mempertanggungjawabkan kegagalan ini, maka wajar jika masyarakat, terutama pemuda, menuntut evaluasi total, bahkan tidak menutup kemungkinan bakal mendorong kasus ini ke langkah hukum atau administratif terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang dan pembiaran aset negara yang terbengkalai. Mirisnya, persoalan ini sudah sampai di tahapan audit yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, namun sampai hari ini belum ada transparansi hasil audit yang disampaikan ke publik.
Maka dari itu, pemuda dan masyarakat pada umumnya tidak lagi bisa dibungkam oleh laporan omong kosong dan janji manis. Sejatinya, Pemdes dan BPD harus memiliki kesadaran bahwa, kepercayaan rakyat bukan sesuatu yang bisa dipermainkan, apalagi suatu hal yang dapat diperjualbelikan.