Duapena.id, Gorontalo – Sistem pendidikan di Indonesia, khususnya di Universitas Negeri Gorontalo, kini kian menunjukkan wajah aslinya: tidak hanya jauh dari kata ideal, tetapi juga menjadi penghambat bagi mahasiswa yang seharusnya sudah menuntaskan perjuangannya. Ironisnya, setiap tahun sistem terus berubah, namun bukan menuju perbaikan, malah justru semakin memperumit jalur mahasiswa untuk menyelesaikan studinya.
Mahasiswa yang sudah sampai di tahap akhir atau bahkan sudah mendaftar wisuda dan masih harus berhadapan dengan sistem yang rusak dan tidak kompeten. Dari persoalan sepele seperti penginputan nilai yang tidak sinkron dengan PDDIKTI, hingga masalah krusial seperti lambannya proses penomoran ijazah, semuanya menjadi batu sandungan yang membuat momentum wisuda tertunda tanpa kejelasan.
Ini bukan sekadar masalah teknis, ini masalah moral dan tanggung jawab. Ketika sebuah universitas digadang-gadang hendak menuju status PTN-BH, maka seharusnya kesiapan sistem dan birokrasi sudah lebih dari matang. Namun faktanya, sistem yang ada hari ini justru membuat mahasiswa dilematis antara keinginan untuk pulang kampung dan membanggakan orang tua, melanjutkan studi, atau meniti karir dengan kenyataan pahit bahwa ijazah mereka belum bisa keluar karena sistem yang amburadul.
Rahman Patingki, Sekretaris Jenderal BEM UNG 2022, dengan tegas menyayangkan kejadian ini. Ia menyuarakan keresahan banyak mahasiswa, khususnya dari Fakultas MIPA, yang sudah berjuang menyelesaikan skripsi dan administrasi, namun harus menunggu entah sampai kapan hanya untuk satu lembar ijazah. Ini bukan hanya menyiksa mental mahasiswa, tapi juga menampar harapan para orang tua yang telah bersusah payah membiayai pendidikan anak-anaknya. Bahkan tak sedikit dari mereka yang menanti wisuda anaknya sebagai momen penuh haru dan kebanggaan—namun harus tertunda karena sistem yang gagal.
Apakah kita akan terus membiarkan sistem yang rusak ini terus mengorbankan masa depan mahasiswa? Apakah teknologi yang seharusnya memudahkan justru menjadi alasan pembenaran atas ketidakbecusan birokrasi? Jangan sampai kita menyaksikan orang tua meninggal dunia tanpa sempat melihat anaknya diwisuda, hanya karena satu hal: sistem pendidikan yang bobrok dan tak punya rasa empati.
Kami mahasiswa menuntut solusi konkret. Bukan janji manis, bukan sekadar klarifikasi yang penuh alasan. Kami butuh aksi nyata, perbaikan sistem, transparansi birokrasi, dan yang terpenting kepastian. Karena menyelesaikan studi sarjana bukan perkara mudah, dan ketika akhirnya kami sampai di garis akhir, kami berhak mendapatkan penghargaan yang layak bukan pengabaian.