Uncategorized

Antara Sembako dan Tambang : Hulu yang Terluka Hilir Terancam

×

Antara Sembako dan Tambang : Hulu yang Terluka Hilir Terancam

Sebarkan artikel ini

Duapena.id, Opini – Di tengah hiruk-pikuk perjuangan hidup, berbagi adalah tindakan mulia yang menyentuh hati. Ketika para penambang membentuk sebuah komunitas Berbagi, mengulurkan bantuan sembako kepada masyarakat,Guru sampai Siswa, ada pesan kemanusiaan yang kuat yang tersampaikan. Namun, di balik aksi ini, muncul pertanyaan mendasar yang layak kita renungkan: apakah kebaikan tersebut benar-benar murni, atau hanya menjadi upaya untuk mengaburkan luka besar yang mereka timbulkan terhadap lingkungan ?

Kita semua sepakat bahwa berbagi adalah tindakan yang mulia. Namun, sumber dari kebaikan itu juga harus jelas.

Jika kebaikan yang diberikan berasal dari praktik yang merusak dan melanggar hukum, maka nilai moral dari aksi itu patut dipertanyakan. Apakah tindakan tersebut benar-benar merupakan bentuk kepedulian, atau justru menjadi cara untuk membungkam kritik masyarakat atas kerusakan yang telah terjadi?

Tambang ilegal telah menjadi ancaman besar bagi kelestarian alam dan keseimbangan ekosistem. Hutan yang dulunya hijau kini berubah menjadi lahan gersang penuh lubang tambang. Sungai yang dulunya jernih kini tercemar oleh limbah dan sedimentasi. Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga pada masyarakat yang bergantung pada alam untuk hidup. Mereka kehilangan air bersih, tanah subur, dan udara segar.

Baca Juga :  Bupati Dorong Novotel Berinvestasi di Pohuwato

Banjir yang baru-baru ini melanda wilayah hilir menjadi bukti nyata bagaimana kerusakan lingkungan di hulu tidak dapat dipisahkan dari dampaknya di hilir. Meskipun ada pendapat yang menyatakan bahwa banjir baru baru ini di kecamatan Paguat tersebut bukan sepenuhnya akibat aktivitas di hulu, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa apa yang terjadi di hilir selalu memiliki keterkaitan erat dengan aktivitas di hulu. Ketika hutan di hulu ditebang dan digantikan oleh lubang tambang, daya serap tanah terhadap air hujan berkurang drastis. Akibatnya, air meluncur deras ke hilir, membawa serta lumpur dan sedimentasi, memperparah kerusakan yang sudah ada.

Banjir ini bukan sekadar peristiwa alam, melainkan peringatan keras tentang bagaimana manusia telah mengganggu keseimbangan ekosistem.  Sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan kini Rusak menjadi ancaman. Sawah, rumah, dan infrastruktur di hilir porak-poranda, meninggalkan beban berat bagi masyarakat yang sudah berjuang untuk bertahan hidup.

Baca Juga :  Bupati Dorong Novotel Berinvestasi di Pohuwato

Apa arti dari sembako yang diberikan hari ini jika masyarakat di hilir harus menghadapi risiko banjir yang semakin sering terjadi? Bukankah lebih bijak jika sumber daya yang ada digunakan untuk memulihkan hutan, memperbaiki aliran sungai, dan menghentikan aktivitas tambang ilegal yang menjadi akar masalah?

Kebaikan sejati bukan hanya tentang apa yang kita berikan kepada orang lain, tetapi juga tentang bagaimana kita melakukannya dan dampak jangka panjang yang ditimbulkan. Ketika sumber kebaikan berasal dari praktik yang merusak, kita harus bertanya: apakah tindakan ini membantu, atau justru melanggengkan ketidakadilan yang lebih besar?

Ironisnya, pemuda karang taruna Kecamatan Paguat, yang seharusnya menjadi subjek kritis terhadap kerusakan lingkungan, justru terlihat sependapat dengan Aktifitas ini. Mereka yang diharapkan menjadi penggerak perubahan malah terseret dalam pusaran narasi yang mengaburkan kerusakan dan kenyataan. Ini menjadi pengingat bahwa masyarakat, termasuk siswa dan guru yang seharusnya menjadi agen perubahan, harus terus didorong untuk berpikir kritis dan melihat gambaran yang lebih besar.

Memperbaiki lingkungan adalah bentuk aksi kemanusiaan yang berdampak luas dan berjangka panjang. Membersihkan sungai memberikan kehidupan bagi ribuan makhluk yang bergantung padanya. Menanam pohon menciptakan udara segar untuk generasi mendatang. Menghentikan tambang ilegal melindungi tanah air kita dari kehancuran. Ini adalah kebaikan sejati yang tidak hanya dirasakan hari ini, tetapi juga diwariskan untuk masa depan.

Baca Juga :  Bupati Dorong Novotel Berinvestasi di Pohuwato

Aksi berbagi sembako, meskipun memberikan manfaat jangka pendek, tidak boleh menjadi alasan untuk menutupi kerusakan yang lebih besar. Kebaikan sejati harus didasari oleh keadilan dan keberlanjutan. Kita harus berani untuk tidak hanya berbagi dari hasil yang kita miliki, tetapi juga memperbaiki cara kita mendapatkannya.

Pada akhirnya, kita harus mengingat bahwa kebaikan tanpa keadilan hanya akan menjadi ilusi. Kebaikan yang sejati tidak boleh berasal dari hasil yang menyakiti bumi dan manusia.

Pertanyaan yang harus kita jawab bersama adalah: apakah kita ingin dikenang sebagai generasi yang hanya berbagi sembako, atau sebagai generasi yang menjaga bumi? Pilihan ada di tangan kita, dan keputusan kita hari ini akan menentukan masa depan yang kita tinggalkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *